|
pantai karang taraje |
Salam Sejahtera,…sahabat
Kelana….kali ini kelana mau bagi-bagi info tempat wisata di Kabupaten Lebak
Propinsi Banten yang mungkin dapat menjadi referensi liburan sahabat sekalian,Yang pertama, ini adalah wisata pantai
di selatan Kabupaten Lebak diantaranya adalah pantai Karang taraje yang
lokasinya ada di Kecamatan Bayah, keindahan pantai ini adalah karang yang
tersusun seperti taraje (dalam bahasa Indonesia artinya
Tangga)…..pemandangannya yang masih alami banget,..plus udaranya yang sejuk
tenan poko’e untuk yang ingin melepas kepenatan atau melepaskan stress…rasanya
sahabat perlu mengunjungi pantai ini….jarak tempuh dari ibukota Rangkasbitung
adalah kurang lebih 100 km,…
ini gambaran yang kelana ambil tentang
karang taraje…walaupun yang mejeng kurang indah…
pantai pasir putih |
Masih
di selatan Kabupaten Lebak nih sahabat ada lagi pantai pasir putih yang
lokasinya berada di Kecamatan Cihara jarak dari ibukota Rangkasbitung kurang
lebih 80 km,…akses kesana bisa menggunakan kendaraan umum atau kendaraan
pribadi,…soal jalan ngga usah khawatir sahabat…jalannya hotmix dan lumayan
mulus…lokasinya dipinggir jalan Kabupaten……poko’e mantap tenan…
ciboleger baduy |
Selain
wisata pantai ada juga wisata adat,…yaitu masyarakat suku baduy…buat yang mau
belajar tentang kebudayaan ke baduy rasanya cocok juga….nah kalo yang satu ini
jaraknya dari ibukota Rangkasbitung
kurang lebih 40 km.
leuwi buled baduy |
Orang Kanekes
atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda
di wilayah Kabupaten
Lebak, Banten.
Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah
satu suku yang menerapkan isolasi
dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu
untuk difoto. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh
penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para
peneliti Belanda
yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi
yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain
adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara
dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka,
atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo
(Garna, 1993).
Wilayah
Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan
108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki
pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten
Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung.
Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 –
600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan
bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan
tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah
campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.
Bahasa
yang mereka gunakan adalah Bahasa
Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang
Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat,
kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan
lisan saja.
Orang
Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak
era Suharto
pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidupmereka dan
membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih
menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak
dapat membaca atau menulis menggambar.
1. Kelompok masyarakat
Orang
Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang
Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka
mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah
kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh
dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional,
sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk
Islam.
Masyarakat
Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping,
dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok
tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes
Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat
mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana,
dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih
alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat
untuk bertemu dengan orang asing (non WNI)
Kanekes
Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar,
warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian
peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
a. Tidak
diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
b. Tidak
diperkenankan menggunakan alas kaki
c. Pintu
rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau
ketua adat)
d. Larangan
menggunakan alat elektronik (teknologi)
e. Menggunakan
kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri
serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok
masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal
sebagai Kanekes Luar
(Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi
wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu,
dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian
dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes
Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat
dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya
warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
a. Mereka
telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
b. Berkeinginan
untuk keluar dari Kanekes Dalam
c. Menikah
dengan anggota Kanekes Luar
d. Ciri-ciri
masyarakat orang Kanekes Luar
e. Mereka
telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya
tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes
Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar
tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
f. Proses
pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu,
seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes
Dalam. Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk
laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian
modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
g. Menggunakan
peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca
& plastik.
h. Mereka
tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
Apabila
Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar (Permana, 2001).
2.
Asal-usul
Delegasi
Kanekes sekitar tahun 1920 Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes
mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara
yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi
Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik
(mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat
mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah,
yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah
berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita
rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat
Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan
Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad
ke-16 berpusat di Pakuan
Pajajaran (sekitar Bogor
sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau
Jawa ini merupakan bagian penting dari
Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai
Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa
wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa
kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan
tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan
pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat
tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan
kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi
komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van
Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli
daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna,
1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka
berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk
setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena
penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau
nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli,
asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda
Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan
Darmasiksa.
Menyimak
cerita rakyat khususnya di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya
sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara
berpakaian, penampilan serta sifatnya pun sangat berbeda
I. Berasal dari Kerajaan Pajajaran / Bogor
I. Berasal dari Kerajaan Pajajaran / Bogor
Konon
pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah
Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada
waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan
gelar PRABU SILIWANGI.
Kemudian
pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan
oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini
adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke
selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh
dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam.
Akhirnya
raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan
masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka
meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun
upacara Suku Baduy “ Jauh teu puguh nu
dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina
gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung
paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”
Artinya
: jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan
ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada
harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan
“
Keturunan
ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo ( Baduy Dalam
) dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan ( baju sangsang ),
ikat kepala putih, memakai sarung biru tua ( tenunan sendiri ) sampai di atas
lutut, dan sipat penampilannya jarang bicara ( seperlunya ) tapir amah, kuat
terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
II. Berasal dari Banten
Girang/Serang
Menurut
cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu
Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon
dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya
yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan
agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya.
Sehingga
situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya
meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai
Ciujung sampai ke Hulu sungai , maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur
Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan
akhirnya tempat ini disebut GOA/ Panembahan Arca Domas yang sangat di
keramatkan .
Keturunan
ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik ( Baduy Dalam ) dengan Khas sama
dengan di kampong Cikeusik yaitu : wataknya keras,acuh, sulit untuk diajak
bicara ( hanya seperlunya ), kuat terhadap hukum Adat, tidak mudah menerima
bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih ( blacu ) atau
dari tenunan serat daun Pelah, iket kepala putih memakai sarung tenun biru tua
( diatas lutut ).
III. Berasal dari Suku
Pangawinan ( campuran )
Yang
dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu
ada yang berasal dari daerah Sumedang, priangan, Bogor, Cirebon juga dari
Banten. Jadi kebanyakanmereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat
sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah
tertentu.
Golongan
inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa
daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada
yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampong
Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan
kampong Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih
ada kesamaan cirikhas tersendiri.
Adapun
sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang,
Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan
akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping (
Baduy Luar ) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan
cirri-cirinya ; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh
bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh
tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat
karena merekan masih harus patuh dan taat terhadap Hukum adat.
Dari
suku Baduy panamping pada tahun 1978 oleh pemerintah diadakan proyek PKMT ( pemukiman
kembali masyarakat terasing ) yang lokasinya di kampung Margaluyu dan
Cipangembar desa Leuwidamar kecamatan Leuwidamar dan terus dikembangkan oleh
pemerintah proyek ini di kampung Kopo I dan II, kampung Sukamulya dan kampung
Sukatani desa Jalupangmulya kecamatan Leuwidamar .
Suku
Baduy panamping yang telah dimukimkan inilah yang disebut Baduy Muslim,
dikarenakan golongan ini telah memeluk agama Islam, bahkan ada yang sudah
melaksanakan rukun Islam yang ke 5 yaitu memunaikan ibadah Haji.
Kini
sebutan bagi suku Baduy terdiri dari :
1. Suku
Baduy Dalam yang artinya suku Baduy yang berdomisili di Tiga Tangtu ( Kepuunan
) yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikertawana.
2. Suku
Baduy Panamping artinya suku Baduy yang bedomisili di luar Tangtu yang
menempati di 27 kampung di desa Kanekes yang masih terikatoleh Hukum adat
dibawah pimpinan Puuun ( kepala adat ).
3. Suku
Baduy Muslim yaitu suku Baduy yang telah dimukimkan dan telah mengikuti ajaran
agama Islam dan prilakunya telah mulai mengikuti masyarakat luar serta sudah tidak
mengikuti Hukum adat.
Adapun
sebutan suku Baduy menurut cerita adalah asalnya dari kata Badui, yakni sebutan
dari golongan/ kaum Islam yang maksudnya karena suku itu tidak mau mengikuti
dan taat kepada ajaran agama Islam, sedangkan disaudi Arabia golongan yang
seperti itu disebut Badui maksudnya golongan yang membangkang tidak mau tunduk
dan sulit di atur sehingga dari sebutan Badui inilah menjadi sebutan Suku
Baduy.
3.
Kepercayaan
Kepercayaan
masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda
Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah
nenek moyang (animisme)
yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama
Buddha, Hindu,
dan Islam.
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi
terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep
"tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.
“ Lojor heunteu beunang
dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung “
(Panjang
tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu
tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di
bidang pertanian,
bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang,
sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak,
tidak membuat terasering,
hanya menanam dengan tugal,
yaitu sepotong bambu
yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan
apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama
panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi,
bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek
kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca
Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan
dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk
melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003
bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi
dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan
tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan
air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam
keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan
pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan
berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka
merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003).
Bagi
sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang
dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan
masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Yang
mana kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau
disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi
Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kepercayaan sunda wiwitan
berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam
berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui
hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak
mengunakan listrik, tembok, mobil dll.
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan:
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan:
1. Upacara
Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang
dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah
puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
2. Upacara
ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas
terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan.
Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran.
3. Seba
yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan
tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan
bentuk penghargaan dari masyarakat baduy.
4. Upacara
menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan
kepada dewi sri lambing kemakmuran.
5.
Kelahiran yang
dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu :
Ø Kendit
yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untuk dijampi-jampi.
Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untuk dijampi-jampi.
Ø Setelah
7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
Ø Upacara
Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
Ø Akikah
yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot)
yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
6.
Perkawinan, dilakukan
berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga
adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya.
Adapun
mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan
penanggalan :
1.
Bulan Kasa 7. Bulan Kapitu
2.
Bulan Karo 8. Bulan Kadalapan
3.
Bulan Katilu 9. Bulan Kasalapan
4.
Bulan Sapar 10. Bulan
Kasapuluh
5.
Bulan Kalima 11. Bulan Hapid
Lemah
6.
Bulan Kaanem 12. Bulan Hapid Kayu
Seperti
yang telah diuraikan diatas, apabila ada masyarakat baduy yang melanggar salah
satu pantangan maka akan dikenai hukuman berupa diasingkan ke hulu atau
dipenjara oleh pihak polisi yang berwajib
Inti
kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat
mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi
terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep
"tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin :
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu
beunang disambung.
(Panjang
tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
4.
Pemerintahan
Masyarakat
Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti
aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan
sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk
Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah,
yang ada di bawah camat,
sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu
"Pu'un".
Pemimpin
adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di
tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun
tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka
waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan
seseorang memegang jabatan tersebut.
Secara
Nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro
pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan
adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun". Struktur pemerintahan
secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun"
yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun,
namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya.
Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan
seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana
sehari-hari pemerintahan adat kapuunan
(kepuunan) dilaksanakan oleh jaro,
yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro
dangka, jaro tanggungan,
dan jaro pamarentah.
Jaro tangtu bertanggung
jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya.
Jaro dangka bertugas
menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan
di luar Kanekes. Jaro dangka
berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut
sebagai jaro duabelas. Pimpinan
dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro
tanggungan.
Adapun
jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat
Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot
lembur atau tetua kampung.
5.
Mata pencaharian
Mata pencarian masyarakat Baduy
yang paling utama adalah bercocok tanam
padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu,
mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang.
Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual
buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam
keranji, serta madu hutan.
Kehidupan
orang Baduy berpenghasilan dari pertanian, dimulai pada bulan kaampat kalender
Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar
untuk menyiapkan ladang. Ada 4 jenis lading untuk padi gogo yaitu Huma serang,
merupakan suatu lading suci bagi mereka yang berpemukiman dalam. Huma tangtu
merupakan lading yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam yang meliputi Huma
tuladan atau huma jaro. Huma penamping merupakan ladang yang dikerjakan oleh
orang Baduy diluar kawasan tradisional.
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,
masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah
mengharapkan bantuan dari luar. Mereka secara mandiri dengan cara bercocok
tanam dan berladang. Selain itu mereka menjual hasil kerajinan seperti Koja dan
Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju,
celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu.
6.
Interaksi dengan masyarakat luar
Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan
masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan
Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes
ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai
tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan seba
ke Kesultanan Banten
(Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun
sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada
Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak.
Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat
luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan
yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter,
sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah
biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren
melalui para tengkulak.
Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar.
Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya,
Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada
saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai
dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari
sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima
para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa
pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut
antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan
sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi
orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai
sekarang selalu ditolak masuk.
Pada
saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan
kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3
sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes
sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut
biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
7.
Sistem
Organisasi Sosial Suku Baduy
A.
Sosial
Budaya Baduy
Suku
Baduy adalah bukan suku terasing melainkan suatu suku yang mengasingkan diri
dengan pola kehidupannya patuh terhadap hukum adat, hidup mandiri denga tidak
mengharapkan yang sifatnya bantuan dari orang lain / orang luar, menutup diri
dari pengaruh budaya yang akan masuk dari luar.
Adapun cara hidup mereka baik dengan sessama warga, bergotong royong, taat terhadap adat. Seia sekata dalam pandangan, berlindung terhadap Pusaka Karuhun dan amanat Leluhurnya sekalipun tidak tersurat tetapi tersirat dalam ingatan sehingga patuh dan taat terhadap peraturan hukum adat yang dipimpin oleh Kepala Adat ( Puun ).
Menurut
palsafah suku Baduy pergantian musim adalah mendatangkan dan meninggalkan untuk
kesejahteraan manusia,hidup rukun saling member dan menerima dalam hal yang
saling membutuhkan adalah merupakan pelengkap untuk menimbulkan rasa kedamaian
karena kalau saling menciderai dan membinasakan akan mendatangkan bencana dan
perpecahan.
Amanat
leluhur yang menjelma jadi hokum adat mampu mengatur tatanan kehidupan untuk
kesejahteraan dan tatanan yang senapas dengan lingkungannya sehingga warna
hidup dan kehidupannya mempunyai keseragaman kata dan perbuatannya.
B.
Hukum
didalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan dengan kategori
pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un
untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan
antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi
mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan
hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan.
Menariknya, yang namanya hukuman berat
disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan
berpakaian ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam
hukum adat Baduy, di antaranya tidak
boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan
bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat
rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu.
C. Pernikahan
Di dalam proses pernikahan pasangan
yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang
tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan
kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan,
kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali lamaran.
Tahap
Pertama, orang tua
laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih,
buah pinang dan gambir secukupnya.
Tahap
kedua, selain membawa
sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang
terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya.
Tahap
ketiga, mempersiapkan
alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak
perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami
dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah
satu dari mereka telah meninggal.
8. Pengetahuan Suku Baduy
Sistem
pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat
peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang
Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa social, dan teknik bertani
yang diwariskan oleh leluhurnya.
Dalam
pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka belajar secara
otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali sebetulnya,
tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan
(pengembara).
Sebagai
catatan, kemungkinan bahwa budaya lama telah banyak digantikan dengan budaya
baru menandakan sebetulnya budaya sangat relatif dan adaptif di lingkungan Suku
Baduy, terutama Baduy luar. Namun, sebagai pelengkap yang lebih akurat dibandingkan
foklore (cerita rakyat) dan narasumber lainnya, adalah peninggalan sejarah dan
prasejarah yang tertinggal sebagai bukti terkuat, bahwa mereka termasuk
komunitas masyarakat yang tertua di Banten.
9.
Kesenian
Suku Baduy
Dalam
melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk
memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:
1. Seni
Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam
acara pernikahan).
2. Alat
musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi)
3.
Seni Ukir Batik.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Adimihardja,
K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal
Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.
Garna,
Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia,
Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta:
Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial
dengan Gramedia Pustaka Utama.
|
0 komentar:
Posting Komentar
add your comment here :